Geriatri didefinisikan sebagai individu berusia di atas 60
tahun dan sering kali perubahan-perubahan yang terjadi pada geriatri
dibandingkan dengan keadaannya pada usia produktif dikaitkan dengan terjadinya
proses penuaan (WHO, 2013). Penuaan merupakan akumulasi perubahan yang progresif. Penuaan
dapat menurunkan kemampuan untuk mengatasi tekanan ekstemal. Selain itu,
variabilitas antarindividu dalam respon fisiologis meningkat dengan peningkatan
usia. Penuaan bukanlah entitas tunggal tetapi istilah kolektif yang mewakili
jumlah efek kumulatif pada tingkatan molekul, selular dan tingkat jaringan. Karakteristik
umum dari penuaan adalah menurun hingga hilangnya fungi organ tubuh, misalnya
nefron, alveoli atau neuron. Karakteristik selanjutnya adalah terganggunya
beberapa proses regulasi yang mengintegrasikan fungsional antara sel-sel dan
organ. Akibatnya, ada kegagalan untuk mempertahankan homeostasis di bawah
kondisi-kondisi stres fisiologis tersebut
(Mangoni and Jackson, 2003).
Klirens obat oleh hati tergantung pada kapasitas hati untuk
mengekstraksi obat dari darah melewati organ dan jumlah aliran darah hati,
seperti yang digambarkan oleh rumus berikut:
Hilangnya fungsional organ tubuh ini dikaitkan dengan
penurunan kualitas hidup dan peningkatan kerentanan. Penuaan tidak semata-mata merupakan
penurunan fungsional secara progresif, tetapi juga terjadi perubahan anatomi dan fisiologi
tubuh yang mungkin menyebabkan dekompensasi pada sistem tubuh. Perubahan
fisiologis organ tubuh yang berkaitan dengan penuaan dapat mempengaruhi
farmakokinetik suatu obat (penyerapan obat, distribusi, metabolisme, dan ekskresi).
Suatu keputusan untuk pemberian obat-obatan pada pasien geriatri termasuk
penentuan regimen dosis perlu mempertimbangkan perubahan farmakokinetik yang
terjadi pada pasien geriatri tersebut, sehingga dapat memberikan outcome yang diharapkan (Mangoni and Jackson, 2003). Berikut akan dibahas
perubahan fisiologis beberapa organ tubuh yang penting yang dapat berpengaruh
terhadap farmakokinetik obat.
1. Struktur dan fungsi jantung
Penuaan menghasilkan perubahan kardiovaskular, termasuk
mengurangi elastisitas aorta dan arteri
besar. Hal ini menghasilkan tekanan sistolik arteri yang lebih tinggi,
meningkatkan impedansi ke ventrikel kiri, dan selanjutnya hipertrofi pada ventrikel
kiri serta fibrosis interstitial. Penurunan tingkat relaksasi miokard juga
terjadi. Ventrikel kiri menjadi kaku dan membutuhkan waktu lebih lama untuk relaksasi
dan mengalami diastole, sehingga akan meningkatkan waktu kontraksi atrial dalam
memberikan volume akhir diastolik yang normal pada ventrikel kiri (Mangoni and Jackson, 2003).
Penuaan dikaitkan dengan penurunan intrinsik denyut jantung.
Respon terhadap perubahan ini berbeda antara usia muda dan geriatri, dimana
pada usia muda curah jantung dipertahankan dengan meningkatkan denyut jantung
sedangkan pada geriatri akan mengandalkan peningkatan volume untuk
mengkompensasi. Selama olahraga, respon takikardi berkurang. Pada beberapa geriatri,
curah jantung dikelola oleh peningkatan volume, namun pada beberapa lainnya
tidak terjadi kompensasi sehingga kebutuhan oksigen dikurangi (Mangoni and Jackson, 2003).
2. Sistem ginjal
Massa ginjal menurun sejalan dengan penuaan. Hal tersebut
mencerminkan pengurangan nefron. Perubahan vaskular intra-renal juga terjadi,
yang terdiri dari hialinisasi berkas pembuluh darah yang menyebabkan
berkurangnya aliran darah dalam arterioles aferen di korteks ginjal. Tidak ada
perubahan di pembuluh darah medula yang dilaporkan pada kasus penuaan, namun
terjadi penurunan aliran plasma ginjal maupun laju filtrasi glomerular pada
kondisi penuaan tetapi penurunan tersebut tidak seragam atau konsisten.
Meskipun terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, tidak ada peningkatan pada
kreatinin plasma karena terjadi kehilangan massa otot yang berkaitan dengan
usia. Oleh karena itu, kreatinin bukan merupakan indikator yang tepat untuk
laju filtrasi glomerular pada geriatri. Penanda lain seperti serum cystatin C
tidak memberikan keuntungan signifikan atas kreatinin untuk pengukuran klirens kreatinin (Mangoni and Jackson, 2003).
Keseimbangan asam-basa dipertahankan di bawah kondisi fisiologis, tetapi terjadi penurunan respon yang
ditunjukkan dengan ketidakmampuan untuk menangani beban asam, yang mungkin dikarenakan
kerusakan sekresi tubular ginjal oleh ion amonium. Kemampuan untuk memekatkan
urin selama kekurangan air juga berkurang. Hal ini mungkin disebabkan oleh
ketidakmampuan dan penurunan jumlah nefron, sementara muatan zat terlarut
meningkat atau peningkatan perfusi dari glomeruli juxtamedullary. Pada penuaan
juga terjadi ketidakseimbangan garam dalam tubuh. Perubahan regulasi garam dan
air juga berkaitan dengan perubahan mekanisme haus. Berkurangnya rasa haus
telah dilaporkan pada subjek geriatri selama terjadi kekurangan air dalam tubuh,
meskipun terjadi kenaikan yang cukup besar dalam osmolalitas plasma. Mekanisme
yang mungkin dilakukan termasuk mengurangi sensasi kekeringan mulut dan
peningkatan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron (Mangoni and Jackson, 2003).
3. Sistem pencernaan
3.1 Lambung dan duodenum
Perubahan utama pada lambung dan duodenum melibatkan
sekresi asam klorida dan pepsin yang mengalami penurunan hingga di bawah
kondisi normal. Ini mungkin akibat langsung dari perubahan sel dalam mensekresi
enzim dan perubahan regulasi organ atau hormonal dan saraf. Sebaliknya,
pengosongan lambung pada geriatri sama halnya dengan yang subyek usia muda (Mangoni and Jackson, 2003).
3.2 Usus kecil
Penuaan disertai dengan berkurangnya penyerapan beberapa
zat, misalnya gula, kalsium, zat besi, sementara pencernaan dan motilitas tetap
atau relatif tidak berubah
(Mangoni and Jackson, 2003).
3.3 Usus besar
Beberapa penelitian menyelidiki hubungan antara usia dan
motilitas kolon telah menunjukkan hasil yang bertentangan. Pada suatu penelitian,
geriatri memiliki waktu transit kolon yang lebih lambat daripada subyek usia
muda. Tidak ada perubahan yang signifikan pada waktu transit kolon berkaitan
dengan usia yang telah diamati dalam penelitian-penelitian terbaru yang
membandingkan antara usia muda dan setengah baya (Mangoni and Jackson,
2003).
4. Pankreas
Belum diketahui secara pasti mengenai efek penuaan pada
sekresi pankreas. Secara umum pengaruhnya pada enzim, yaitu amilase tetap
konstan sedangkan enzim lain (lipase, tripsin) menurun secara drastis. Stimulasi
sekresi getah pankreas dan konsentrasi bikarbonat tetap tidak berubah (Mangoni and Jackson, 2003).
5. Hati
Geriatri dikaitkan dengan reduksi progresif pada volume
hati dan aliran darah hati. Perubahan struktur hati dan fungsi enzimatik juga
terjadi pada penuaan. Pada geriatri yang sehat, tes fungsi hati rutin yang
melibatkan metabolisme dan eliminasi melalui pewarna spesifik, radioisotop, dan
sintesis protein tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara individu
yang berusia 50-69 dan 70-89 tahun
(Mangoni and Jackson, 2003).
6. Respon neuroendokrin
Penuaan disertai dengan perubahan respon neuroendokrin
terhadap stres psikososial maupun fisik. Secara khusus, perubahan fungsi dari
hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA) telah diteliti. Aktivasi HPA berlebih dan
hipersekresi glukokortikoid dapat menyebabkan atrofi dendritik pada neuron
hippocampal, sehingga menyebabkan gangguan belajar dan gangguan memori (Mangoni and Jackson, 2003).
Kerusakan atau kehilangan neuron hippocampal menyebabkan gangguan
inhibisi feedback HPA dan sekresi glukokorticoid,
yang menyebabkan kerusakan lebih lanjut akibat konsentrasi glukokortikoid
tinggi. Dengan demikian, glukokortikoid dapat membuat peka neuron hippocampal sehingga
terjadi kematian sel dan / atau gangguan fungsional pada neuron hippocampal
tersebut, hal ini menjadi efek tidak langsung yang terjadinya tergantung usia (Mangoni and Jackson, 2003).
7. Komposisi tubuh
Perubahan yang signifikan dalam komposisi tubuh terjadi pada
geriatri. Terjadi pengurangan progresif pada total air dalam tubuh dan massa
tubuh tanpa lemak, sehingga relatif terjadi peningkatan lemak tubuh (Mangoni and Jackson, 2003).
Implikasi farmakokinetik
1. Absorpsi obat
Meskipun penelitian sebelumnya melaporkan efek yang
berkaitan dengan penuaan termasuk penurunan sekresi asam lambung dan
pengosongan lambung, penurunan aliran darah splanknikus, dan daya serap usus
kecil, yang kemungkinan karena efek keadaan penyakit yang diderita geriatri, namun
laporan yang lebih baru belum dikonfirmasi mengenai temuan ini pada subyek sehat (Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et
al., 2007).
Studi farmakokinetik tentang pengaruh penuaan pada absorpsi
obat telah memberikan hasil yang bertentangan. Sementara beberapa penelitian
tidak menunjukkan perbedaan signifikan berkaitan usia dengan tingkat penyerapan
obat yang berbeda, penyerapan vitamin B12, zat besi dan kalsium melalui
mekanisme transpor aktif berkurang sedangkan penyerapan levodopa meningkat.
Beberapa perbedaan dalam hasil yang diperoleh dari penelitian ini mungkin
disebabkan karena metode yang berbeda untuk menilai absorpsi obat (Mangoni and Jackson, 2003).
2. First-pass metabolisme dan bioavailabilitas
Penuaan dikaitkan dengan penurunan first-pass metabolisme.
Ini mungkin disebabkan oleh penurunan massa hati dan aliran darah dalam hati.
Akibatnya, ketersediaan hayati obat yang melalui first-pass metabolisme seperti
propranolol dan labetalol dapat secara signifikan meningkat. Di sisi lain,
beberapa ACE inhibitor seperti enalapril dan perindopril yang merupakan pro-drug,
memerlukan aktivasi di hati. Oleh karena itu, aktivasi first-pass mereka
mungkin diperlambat atau dikurangi dengan bertambahnya umur (Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et
al., 2007).
3. Distribusi obat
Sebagai konsekuensi dari perubahan yang berkaitan dengan
usia dalam komposisi tubuh, obat yang bersifat polar atau larut dalam air
cenderung memiliki volume distribusi (V) yang lebih kecil, sehingga menghasilkan
tingkat serum lebih tinggi pada geriatri. Gentamicin, digoxin, etanol,
teofilin, dan cimetidine termasuk dalam kategori ini. Loading dose digoxin perlu dikurangi untuk mengakomodasi perubahan
ini (Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et
al., 2007).
Di sisi lain, senyawa nonpolar atau cenderung larut dalam
lemak memiliki nilai V yang lebih besar dengan terjadinya penuaan. Efek utama
dari peningkatan V adalah perpanjangan waktu paruh (t1/2).
Peningkatan V dan t1/2 telah diamati untuk obat-obatan seperti
diazepam, thiopentone, lignocaine, dan chlormethiazole. Penurunan V untuk obat
yang larut dalam air cenderung seimbang dengan penurunan klirens ginjal (CL)
dengan sedikit efek pada t1/2,z, seperti yang ditunjukkan dalam
persamaan berikut:
dimana, t1/2,z adalah
waktu paruh eliminasi
Ln(2) adalah 0,693
V adalah volume distribusi, dan
CL adalah klirens
(Mangoni
and Jackson, 2003)
4. Ikatan Protein
Senyawa asam (diazepam, phenytoin, warfarin, asam salisilat)
berikatan dengan albumin sedangkan obat-obatan basa (lignocaine, propranolol)
mengikat α1-asam gliko-protein.
Meskipun tidak ada perubahan substansial yang berkaitan dengan usia pada konsentrasi
dari kedua protein ini telah diteliti, albumin umumnya berkurang pada kondisi malnutrisi
atau penyakit akut sedangkan a1-asam glikoprotein meningkat selama sakit akut.
Namun, hal penting dari perubahan tersebut masih harus dijelaskan sebagai
faktor utama yang menentukan efek obat yaitu konsentrasi obat bebas. Meskipun ikatan
protein plasma secara teoritis berkontribusi terhadap interaksi obat atau efek
fisiologis untuk obat yang sangat terikat protein, relevansi klinis mungkin
terbatas. Alasan untuk ini adalah terkait dengan fakta bahwa efek awal dan efek
sementara dari ikatan protein pada konsentrasi plasma bebas secara cepat
diimbangi dengan efeknya pada klirens
(Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et al., 2007).
5. Klirens obat
Penurunan fungsi ginjal pada geriatri, khususnya laju
filtrasi glomerulus, mempengaruhi jelas klirens berbagai obat-obatan yang larut
dalam air seperti antibiotik, diuretik, digoxin, β-adrenoreseptor bloker yang larut dalam air, lithium, dan
obat anti-inflamasi nonsteroid. Efek klinis yang perlu diperhatikan dari pengurangan
ekskresi ginjal yaitu terjadinya toksisitas obat. Obat dengan indeks terapeutik
yang sempit seperti antibiotik aminoglikosida, digoxin, dan lithium cenderung
memiliki efek samping serius jika mereka menumpuk walaupun hanya dalam jumlah
yang sedikit berlebih daripada yang dimaksudkan. Namun, penelitian terbaru
telah mempertanyakan pentingnya penuaan pada penurunan fungsi ginjal dalam
mempengaruhi farmakokinetik. Meskipun klirens kreatinin sedikit berkurang pada geriatri
yang sehat, ekskresi atenolol, hydrochlorothiazide dan triamterene mirip dengan
subyek muda (Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et al., 2007).
6. Liver
dimana, E adalah rasio
ekstrasi steady-state
Q adalah aliran darah hati (jumlah aliran darah portal hati
dan aliran darah arterial hati)
[Ca] adalah konsentrasi obat pada vena portal dan arteri
hati
[Cv] adalah konsentrasi obat meninggalkan hati pada vena
hepatik
CLliver adalah klirens oleh hati
Oleh karena itu, klirens
oleh hati tergantung pada aliran darah dan rasio ekstraksi, serta tergantung
pada kapasitas metabolisme hati
(Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et al., 2007).
Obat dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok sesuai dengan
rasio ekstraksinya: rasio ekstraksi tinggi (E> 0,7 seperti chlormethiazole,
dekstropropoksifen, gliseril nitrat, lignocaine, petidin, dan propranolol),
menengah (E 0,3-0,7 seperti aspirin, codeine, morfin, dan triazolam), dan
rendah (E <0,3 seperti carbamazepine, diazepam, phenytoin, teofilin, dan
warfarin). Ketika E tinggi, CL lajunya dibatasi oleh perfusi. Ketika E rendah,
Cv sama dengan Ca dan perubahan aliran darah menghasilkan perubahan kecil pada
CL. Oleh karena itu, penurunan aliran darah hati dengan penuaan terutama akan mempengaruhi
klirens obat dengan rasio ekstraksi tinggi
(Mangoni and Jackson, 2003).
Beberapa studi telah menunjukkan penurunan signifikan pada klirens
berbagai obat yang dimetabolisme melalui jalur fase-1 dalam hati. Faktor utama
hal tersebut kemungkinan direpresentasikan oleh perubahan yang berkaitan dengan
usia pada ukuran dan aliran darah hati sebagai aktivitas enzim pemetabolisme obat.
Penelitian pada jaringan hati manusia menunjukkan bahwa aktivitas
mono-oxygenase dipelihara bahkan pada usia lanjut. Hasil ini telah dikonfirmasi
oleh penelitian in vivo menggunakan radiolabelled tes napas eritromisin sebagai
penyelidikan aktivitas CYP3A. Tidak jelas apakah respon enzim berubah dengan
penuaan pada manusia. Beberapa penelitian farmakokinetik telah melaporkan bahwa
faktor-faktor seperti merokok tidak menginduksi metabolisme obat pada geriatri
pada tingkat yang sama seperti pada orang yang lebih muda. Penulis lain melaporkan
klirens teofilin serupa pada perokok tua dan muda. Bukti mengenai inhibisi
enzim pada penuaan adalah lebih konsisten, sebagian besar penelitian pada
manusia menunjukkan inhibisi enzim yang mirip dengan subyek muda. Kurang banyak
usaha telah diarahkan untuk menyelidiki efek penuaan pada metabolisme konjugatif.
Secara umum, penelitian melaporkan tidak ada efek mayor dari penuaan pada jalur
metabolisme fase 2 melalui konjugasi. Jalur metabolisme fase 2 melalui
konjugasi, terpelihara pada geriatri sehat tetapi mengalami penurunan pada
geriatri yang lemah. Misalnya, konjugasi parasetamol menurun pada geriatri yang
lemah tetapi tidak pada geriatri yang sehat
(Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et al., 2007).
Baru-baru ini, telah diteliti bahwa pengurangan fungsi
ginjal secara signifikan dapat mempengaruhi tidak hanya ekskresi obat melalui
ginjal, tetapi juga metabolisme obat dalam hati. Penurunan aktivitas sitokrom
P450 hati, secara sekunder mengurangi ekspresi gen, telah diteliti pada gagal
ginjal. Oleh karena itu, pengurangan fungsi ginjal terkait penuaan, berpotensi
mempengaruhi metabolisme obat di hati. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengklarifikasi masalah ini
(Mangoni and Jackson, 2003; Hilmer et al., 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Hilmer, S.N., McLachlan, A.J. and LeCouteur, D.G. 2007. Clinical Pharmacology in The Geriatric Patient. Fundamental & Clinical Pharmacology.21: 217–230.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar